Rabu, 22 Desember 2010

aku ingin sekolah

KabarIndonesia - Orang miskin dilarang sekolah! Mungkin itu yang terjadi tidak lama lagi di Indonesia. Pasalnya, sekolah semakin mahal. Untuk masuk sekolah dasar yang unggul saja, orangtua bisa menghabiskan uang jutaan rupiah. Memang, ada yang murah, tetapi jangan ditanya kualitasnya; tentu apa adanya. Inilah yang disebut diskriminasi dalam dunia pendidikan kita. Kalau punya uang bisa mendapat kualitas pendidikan yang baik, kalau tidak punya, harus pasrah dengan kualitas pendidikan yang menyedihkan. Padahal seharusnya pendidikan berkualitas harus berlaku sama bagi siapa saja, punya uang atau tidak. Sebab, pendidikan berkualitas merupakan aset negeri dan bukan milik orang kaya saja.

Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat orangtua miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Mengingat, masuk TK dan SDN saja sekarang ada yang memungut biaya Rp 500.000 - Rp 1.000.000, bahkan banyak yang di atas Rp 1 juta. Sementara masuk ke SLTP-SLTA bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 5 juta (tergantung sekolahnya). Celakanya, kini SLTP/SLTA negeri tidak otomatis lebih murah dibandingkan sekolah swasta. Semua amat tergantung kebijakan sekolah masing-masing. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
Di negara-negara lain seperti Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat yang lebih dulu menjalankan MBS, memaknai MBS sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan di sekolah. Bila semula keputusan dilakukan secara tunggal oleh negara, dengan adanya MBS itu proses pengambilan keputusan dilakukan bersama pihak-pihak yang terlibat (multistakeholder), termasuk orangtua murid dan murid sendiri. MBS sama sekali tidak berkait dengan masalah biaya karena pembiayaan pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara. Namun, di Indonesia MBS dimaknai lain, terutama untuk melakukan mobilisasi dana, bukan sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan pendidikan. Karena itu, pembentukan Komite Sekolah/Dewan Pendidikan-yang merupakan organ MBS-selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, pada tingkat implementasinya tidak transparan karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, persis seperti Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) di masa lalu. Dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap masalah pendidikan warganya.
Keluhan masyarakat dalam hal pendidikan, terutama golongan miskin, karena dari soal seragam sekolah, tas, sepatu, buku pelajaran, buku tulis, uang gedung, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), tabungan, dan sejenisnya harus diusahakan dalam waktu amat singkat dan bersamaan, tidak otomatis mendapat respons dari Komite Sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah melalui Komite Sekolah justru menegaskan, semua ini terjadi karena kini MBS, jadi semua harus diusahakan oleh sekolah. Dengan kata lain, meminjam istilah dari Darmaningtia MBS kependekan dari "Masyarakat Bayar Sendiri". Karena MBS, masyarakat bayar sendiri pendidikannya. Kondisinya akan lebih buruk lagi bila kelak RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) disahkan menjadi UU BHP. Berubahnya status lembaga pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Oleh karena itu, RUU BHP itu harus ditolak, jangan sampai disahkan menjadi undang-undang.
Kehadiran UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang semula diharapkan dapat melindungi warga, ternyata malah mengaburkan hak- hak warga negara untuk memperoleh akses pendidikan dari negara. Pasal 34 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 menyatakan "Pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun tanpa memungut biaya". Namun, bunyi ayat ini dianulir oleh Pasal 46 Ayat (1) yang menyatakan, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat". Adanya dua pasal kontradiktif itu memperlemah posisi warga. Warga yang menuntut pelayanan pendidikan secara gratis dapat dituntut balik dengan kata- kata "bukankah pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat?" Pasal 46 UU Nomor 20 Tahun 2003 inilah yang lalu menjadi cantolan pelaksanaan MBS.
Pengadopsian kebijakan kapitalis dalam dunia pendidikan memang semakin menguat. Dalam sistem kapitalis, peran negara diminimalisasi; negara hanya sebagai regulator. Peran swasta pun dioptimalkan. Muncullah istilah-istilah ‘luhur‘ yang sebenarnya menipu, seperti otonomi sekolah, otonomi kampus, dewan sekolah; yang intinya negara lepas tangan terhadap dunia pendidikan. Akibatnya, sekolah dan kampus harus jungkir-balik mencari dana. Jalan pintas yang diambil sekolah adalah menaikkan biaya pendidikan. Jadilah pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau orang miskin. Untuk sekolah yang para orangtua muridnya dari kelas atas, mungkin tidak begitu masalah, sumbangan orang tua murid bisa membiayai sekolah. Tidak demikian dengan sekolah yang orang tua muridnya kelas bawah; alih-alih menyumbang untuk sekolah, untuk makan saja susah.
Ancaman komersialisasi menjadi kenyataan ketika perguruan tinggi berubah statusnya menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) yang kemudian diperkuat dengan RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Alasannya, memang kelihatannya bagus seperti meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan jaminan mutu. Namun, praktiknya adalah kapitalisasi pendidikan. Cirinya, peran negara diminimalkan dan pendidikan lebih diserahkan kepada masyarakat. Lagi-lagi yang muncul adalah masalah pendanaan. Perguruan Tinggi akhirnya harus banting tulang untuk mencari sumber pendanaan mulai dari buka bisnis sampai yang paling gampang menaikkan biaya pendidikan. Hasilnya, pendidikan benar-benar komersialisasi. Aset-aset perguruan tinggi dijadikan bisnis untuk mencari uang. Misalnya saja, IPB mendirikan Bogor Botanic Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampusnya. Sebenarnya ini sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai pusat bisnis. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perguruan tinggi konversi aset tersebut dikatakan boleh-boleh saja. Permasalahannya, jika institusi pendidikan tidak mempunyai aset, atau sedang buntu tidak memiliki cara lain untuk memperoleh dana. Alhasil, biaya pendidikanlah yang naik. Peningkatan biaya pendidikan dijumpai pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN ini.
Sebagai contoh, di UI, pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1,5 juta rupiah meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang lima ratus ribu rupiah. Lalu tahun 2003, Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 juta rupiah, belum uang pangkalnya (admission fee) yang kisarannya 5-25 juta rupiah. Dana ini berupa SPP dan non-SPP.
Kita bisa mengambil ITB sebagai contoh. Pada tahun 2007 ITB membutuhkan anggaran dana sebesar Rp 392 miliar. Dengan subsidi Pemerintah yang kecil, ITB harus mencari jalan keluar agar kebutuhannya terpenuhi. Lalu ITB menetapkan biaya SPP reguler (S1) untuk tahun ajaran 2007/2008 sebesar Rp 3,25 juta/semester. Bahkan Sekolah Bisnis Manajemen dikenakan biaya sebesar Rp 625.000, 00/ SKS. IPB juga menjadi bukti yang lain. Dalam RKAT (Rencana Anggaran dan Kegiatan Tahunan) 2005, IPB memerlukan biaya operasional sebesar Rp 292,99 miliar. Memang, tidak ada kenaikan SPP. Namun, IPB mencari sumber pendanaan lain melalui dana masyarakat non-SPP. Sumber dana masyarakat non-SPP yang diberlakukan IPB adalah sebagai berikut: penerimaan mahasiswa baru, biaya pengembangan institusi dan fasilitas, beasiswa, wisuda, bantuan, uang asrama, sewa fasilitas, kendaraan, uang parkir, pendapatan dari jasa giro, kerjasama penelitian dan pemberdayaan masyarakat.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah. Namun, bukan berarti hal itu dibebankan kepada masyarakat. Kewajiban Pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya baik kaya ataupun miskin, dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang bermutu. Saat ini, status PT-BHMN memberikan peluang yang besar untuk memandulkan peran Pemerintah dalam sektor pendidikan. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8% (Kompas, 10/5/2005). Kondisi ini tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang. Sebanyak 25% komponen APBN habis untuk membayar utang. Meskipun Presiden telah membubarkan CGI pada 24 Januari 2007, namun setidaknya 3 kreditor besar (World Bank, ADB, dan Jepang) tetap dipertahankan. Selama ini, cicilannya hampir Rp 50 triliun per tahun.
Menguatnya kapitalisasi pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisasi di Indonesia. Sejak awal, penjajah memang memformat sistem Indonesia menjadi sistem Kapitalisme. Kebijakan ekonomi Indonesia yang kapitalistik tidak bisa dilepaskan dari peran intelektual yang dididik oleh Barat. Intelektual yang tergabung dalam mafia Berkeley, misalnya, menjadi perumus kebijakan ekonomi Indonesia yang kapitalistik. Dunia pendidikan juga dirancang oleh intelektual yang dididik oleh Barat. Jadi, intervensi ini terjadi lewat sistem negara yang sekular dan para intelektualnya. Bahkan rancangan UU pun dibuat untuk kepentingan negara kapitalis. Muncullah UU Migas, UU Kelistrikkan, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal yang makin mengokohkan Kapitalisme dan membawa derita rakyat di Indonesia. Campur tangan asing dalam pembuatan undang-undang ini sangat nyata. ADB dan USAID, misalnya, secara terbuka dalam situsnya mengakui telah membantu membuat RUU Minyak dan Gas yang sangat merugikan rakyat itu. Intervensi itu pun nyata dalam dunia pendidikan.
RUU-BHP (Badan Hukum Pendidikan) direncanakan akan disahkan sebagai UU pada tahun 2010. Ini merupakan salah satu indikator proyek Dikti, Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi IMHERE (Indonesia Managing Higher Education For Relevance and Efficiency). Pendanaannya dibiayai melalui pinjaman (Loan) dari World Bank baik dari dana IBRD maupun dana dari IDA, dengan Loan Agreement (IBRD) no. 4789-IND dan Develeopment Credit Agreement (IDA) no. 4077-IND schedule 4.
Pada RUU-BHP pasal 6 tertulis, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia, dan bekerja sama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWA-nya berwarga-negara Indonesia. Pasal ini mengindikasikan akan terjadi persaingan institusi-institusi pendidikan Indonesia dengan intitusi-institusi asing. Sangat jelas bahwa Indonesia akan kalah karena secara finansial kemampuan Indonesia masih di bawah asing. Asing bisa masuk melalui beberapa jalan seperti memberikan pinjaman, beasiswa, hibah, menanamkan mahasiswa asing di PT-BHMN serta melalui berbagai penelitian. Berbagai pinjaman sengaja dikucurkan agar kebijakan PT tersebut tunduk di bawah tekanan dan kemauan asing. Begitu pun dengan berbagai hibah seperti A2, A3, QUE, DUE, IMHERE dan lain-lain. Penguasaan asing terhadap PT menjadi lebih mudah dilakukan.

1 komentar: